Sombong Kuadrat
Hari ini tiba-tiba ada keinginan buat nulis lagi. Sebenarnya dari beberapa hari yang lalu selagi berkegiatan suka muncul satu-dua potong kalimat random di kepala, tapi nggak langsung dicatet. Sekarang giliran udah di depan laptop lupa mau nulis apa. Buat pemanasan, gue tulis aja apa adanya kayak gini.
Nggak terasa tahun 2025 udah mau selesai. Masih teringat jelas banget hal-hal yang gue alami dari awal tahun. Banyak, beragam, sekaligus berulang dan itu-itu aja. Salah satunya tahun ini entah berapa kali gue ketemu dokter. Ya sebagai pasien, ya sebagai care-giver. Mulai dari dokter umum, dokter gigi umum, dokter bedah mulut, dokter endodontik, dokter ortodonti, dokter penyakit dalam, dokter mata, sampe ke dokter spesialis ginjal dan hepatologi. Sadar nggak, di antara berbagai dokter itu gue nggak nyebut dokter kandungan? Betulll, setelah dari tahun 2022 sampai 2024 gue jadi ‘tawanan‘ dokter kandungan, akhirnya sepanjang tahun ini gue bebas haha. Tahun ini gue sama sekali nggak ada urusan dengan dokter kandungan.
Kalau boleh jujur, ini tahun tertentram sejak hamil di 2022 lalu. Nggak
ada pendarahan, nggak ada yang meninggal, pun keguguran. Nggak ada kehilangan. Tentram. Ketakutan dan kesedihan sesekali
tetap ada. Beda bentuk aja. Kalau dua tahun terakhir takut kehilangan atau
sedih karena ditinggal, tahun ini takutnya justru kalau telat menstruasi.
Kayak yang baru aja gue rasain. Bulan ini menstruasi telat muncul. Baru
telat satu hari gue udah cemas. Pikiran udah kemana-mana. Beruntung empat hari
kemudian dapet juga. Gue jadi mikir, sebenarnya apa yang gue rasain? Apa
yang gue mau?
Sejak keguguran tahun lalu, gue
jarang berdoa secara khusus untuk kehadiran anak. Bukan nggak mau punya anak,
tapi gue nggak merasa ada yang kurang dengan kehidupan gue saat ini (terkait
anak). Rasanya kayak, “kalau dikasih
senang, kalau belum dikasih nggak kepikiran, nggak merindukan.” Tapi
kenapa suka kangen Kaldera? Kaldera itu sosok yang udah ada, pernah hadir,
pernah gue lihat, peluk, cium. Yang gue sedihin itu kehilangan yang pernah ada, bukan ketiadaan yang nggak pernah ada.
Gue baru sadar selama ini gue
ragu mengakui ke diri sendiri (dan suami) tentang gue jarang berdoa minta anak. Kalau
gue ngomongin soal itu, gue takut Allah mengira gue nggak mau punya anak lagi lalu
beneran nggak dikasih (?). Belok dikit, lucu ya, bisa-bisanya makhluk lemah kayak
gue ini khawatir bakal disalahpahami Penciptanya hahaha. Sebuah bentuk
kesombongan~ Balik lagi ke topik. Setelah menyadari dan mengakui soal itu, gue sadar
ternyata gue takut hamil. Gue takut hamilnya bakal banyak pertumpahan
darah lagi. Perang kali, ah.
Ya, mungkin begitu. Atau gue takut berharap aja. Gue jarang minta karena gue takut nggak dapet yang gue mau. Gue takut saat menstruasi telat karena gue takut pada akhirnya beneran mens dan bukan hamil? Tapi ketentraman yang saat ini gue rasain itu nyata. Nggak ada kehamilan = nggak ada turbulensi kehidupan.
Atau mungkin gabungan keduanya? Gue takut hamil dan gue takut berharap? Aih, sombong kuadrat.
Komentar
Posting Komentar